Kamis, 10 September 2009

१-3

Meratap dalam angin malam, terdengar suara daun-daun yang seakan meraup-raup, meminta tak ingin di sentuh, di hempas, apalagi di pisah dari bagian yang sudah terangkai. Angin ini memaksa memisahkan apa yang telah bersatu menjadi sebuah kehidupan. Memulai dengan kasarnya, daun itu gugur sebelum waktunya. Terasa dingin dan halus, menghanyutkan meraru bunga untuk bersinar mekar dalam balutan angin. Melambai-lambai, terlihat indah, namun di campakan, di hempaskan, di rusak bunga itu secara perlahan. Tak ada lagi angin yang akan menyentuhnya, membelai, memanjanya dan hilang seakan tak risau. Suara itu tak asing, terdengar lama hinggaku tak pernah lupa. Lembut serta damai bagiku. Wajah tersinari cahaya kuning, di lorong gudang ilmu, memberi kesan tak bisa untuk aku lupakan. Perempuan itu, sudah lama menghiasi hatiku. Tak banyak bicara, apa adanya, tak banyak basa-basi. Tapi itu sebuah kejenuhan, tak banyak kenangan yang terukir, walaupun banyak waktu terlewati bersama. Di sudut atap berlindungnya aku berselisih.
"Azzam, sekarang sikapmu berubah, jauh dariku?" tanya Riri kepadaku.
Aku berpikir tentang pertanyaan itu, sejenak.
"sikap ini adalah sikapmu."jawabku singkat.
"maksudmu, zam?"
"sikap kamu, yang selama ini aku rasa. Tak peduli, dekat tapi terasa jauh, bahkan tak ada perhatianmu yang kurasa." panjang lebar jawabku.
Tak ada kata yang terucap untuk menjawab, diam dan dengan muka tak peduli.
"aku tak suka dengan sikapmu seperti ini."cetusku memecah keheningan.

"Azzam, aku berani membuang semua yang kamu tidak suka yang ada dalam diriku. Biar aku lebih indah untukmu, tapi aku butuh waktu." Riri menjawab dengan nada menusuk. Aku termenung, mulut terkunci terasa kaku, tak bisa berucap. Hati ini gelisas, terseok-seok ke dalam palung lautan dalam. Hari demi hari aku terpikir oleh kata-kata itu, menghantuiku setiap saat. Aku dan Riri adalah patung. Bertemu tak ada kata, tapi mata berbicara. Tak tau apa yg di rasakan dan di pikirkan. Tak peduli, biarkan angin menghapus keadaan ini. Sudah lama aku tak melihatnya. Ah...tak peduli dengan semua ini. Sungai itu tak pernah kering, hamparan hijau terasa dingin. Ceria, bahagia, dan tertawa. Tak pernah kekurangan apa itu harta atau cinta. Hingga diam-diam hatiku telah berpaling, berpaling dari hati ke hati lain, terbang beriring-iring. Cinta memang datang sengaja, dengan tiba-tiba. Tak khayal seperti mimpi, memalingkan apa yang ada di hati, hingga aku lupa diri. Mata itu tajam menatap, ketika aku lihat. Bibirnya kadang tertahan tersipu, ingin senyum tati malu. Apakah hati ini mendua? Ada tempat untuk Juwita yang datang tiba-tiba. Setiap hari aku melihat juwita di lorong gudang ilmu. Sungguh menarik, sampai mata tak bisa berkedip. Lama aku mengagguminya, hingga tak tahan ingin ku dekat dengannya. Burung dan anginpun memberikan nyanyian kebahagiaan.
Tak lama, aku bisa dekat dengannya, rasanya seperti angin pagi yang mengangkat tubuhku ke langit dan beselit-selit hati ini. Sekarang aku bahagia, walau aku merasa sedikit berdosa. Riri selama ini pergi entah kemana, tak apa, karna ada juwita yang ada di perbatasan cinta. Lambat laun Riri mengetahui kedekatanku dengan juwita, tapi dia tak langsung bertanya. Membiarkan aku terjerumus dahulu. Tak pelak hubungan kami pun seperti air dan api.
Dan suatu malam di taman, dia menanyakan tentang hatiku.
"Azzam, kini kau sibuk, sibuk mencari cinta ke cinta lain, terbang dari hati ke hati lain." Riri menuduh.
"aku terbang dari hati ke hati, karna sayap ini, sayap yang tak pernah kau jaga."ujarku.
"sudah banyak waktu yang terbuang percuma."
"itu semua karna kita, terlalu membuang waktu. Kapal yang sudah ku bangun, hanya tinggal menunggu kau dan memberi aba-aba untuk berlayar. Tapi itu tak jadi kenyataan."
"zam, maafkan aku, aku tak bisa berlayar dengan lautan cintamu. Lebih baik aku menunggu di persinggahan lain, dan ada kapal yang mau membawaku."
"terserah."
Saat itu adalah pertemuan terakhirku. Akhir cinta yang kubangun dan akhirnya hancur percuma.
Kebahagiaanku dengan Juwita pun seiring air meninggalkan hulu. Pergi, dan hatiku sendiri. Kenyataan yang ku buat sendiri, dan biarkan menjadi mimpi yang tak kembali.
Tak mengingat apa yang terjadi, tak peduli apa yang akan terjadi. Biarkan suratan ini berjalan sendiri. Burung menyambut itu semua dengan kicauan, entah itu kicauan kebahagian atau kesedihan. Tapi tak pernah lelah untuk selalu menyambut hari. Dingin udara, seakan mengantar ke dalam lamunan, bagaimana jalani lika-liku hidup, menusuk-nusuk sampai tulang rusuk, sadarkan dalam setiap kenyataan.

0 komentar: